Minggu, 04 Januari 2009

Alamku.....???

Alamku…???

Mungkin hanya satu di antara seribu orang yang mau menanyakan nasib alam ini, bahkan kayaknya sulit untuk dapat menemukan orang yang mau peduli terhadap nasib alam yang hari demi hari bukannya tambah berseri namun sebaliknya pedih dan perih selalu mewarnai raut mukanya yang semakin nampak berkerut. Andai telinga kita mau mendengar jerit tangis dan rintihan alam yang kian menjadi, karena tiada henti selalu ditindas disakiti oleh manusia-manusia yang tidak ‘berprikealaman’, mungkin tak kuasa kita ikut menangis dan menitikkan air mata. Yah…mungkin kita tak mampu mendangar keluh kesah alam ini karena kita juga hobinya berkeluh kesah akan nasib kita sendiri, sedikit dari mereka yang mau peduli nasib mahluk yang lain. Dan karena kesemena-menaannya manusia juga mendapat predikat sebagai mahluk yang menyebabkan hancurnya alam ini.

Beruntunglah bagi manusia yang sadar sepenuhnya akan kedudukan dirinya dialam semesta ini yang sebenarnya diciptakan oleh Sang Maha Pencipta sebagai penguasa, “khalifatullah fi al ard” yang dipundaknya memikul amanah untuk mengelola memelihara dan menjaga keseimbangan dan kelestariannya. Karena hanya kepada manusia-manusia tersebutlah alam mau bersahabat dan akan menjadi rahmat yang penuh dengan aneka ragam nikmat.

œ

Dikala gunung, bukit, lembah, daratan kepanasan karena pepohonan yang melindungi diatasnya ditebangi tanpa ampun hingga hanya tersisa tanah gundul yang mandul,

Dikala satwa kebingungan kehilangan tempat berteduhnya,

Dikala belantara berhadapan dengan mesin-mesin pembantai yang memotong, mengiris dan menyayat-nyayat tubuhnya,

Dikala paru-paru dunia tercabik, udara menjadai hitam kecoklatan keracunan,

Dikala lautan yang kaya raya meloncat kaget karena dirampok, dijarah tanpa belas kasih,

Adakah penguasa dimuka bumi yang tidak lain adalah manusia yang peduli kepadanya?

Bukankah membiarkan mereka menderita berarti kita menjadi pemimpin/penguasa yang lalim terhadap yang kita pimpin “alam semesta”?

Bumi yang bergetar karena ketakutan akan ulah kita (orang bilang “bencana gempa”),

Gunung yang batuk kesakitan karena tercabik paru-paru dan hatinya ‘hutan belantara diatasnya’ (mbah Marijan bilang “gunung meletetus”),

Air yang berlarian kesana kemari menangis hingga air mata duniapun membanjiri kita hanya karena mencari pelindungnya pepohonan yang kita tebangi semena-mena. (orang Jakarte bilang “bencana banjir”),

Udara yang panik kehilangan penyegar dan penyejuk hatinya yang ternyata dicuri si ‘Bakteri dan Si Virus Suruhan Manusia. (Alhli Patologi bilang “Wabah”).

Semua itu tidakkah cukup untuk membuat sadar akal kita dari keterbuaiannya oleh nikmat sesaat yang membawa derita mahluk sejagad??? Akal yang telah terjangkit virus yang paling ganas diantara virus yang ada di dunia yakni virus ‘keserakahan dan angkara murka’. Setelah terjadinya berbagai bencana alam gempa, sunami, erupsi, longsor, banjir (dijakarta dan beberapa wilayah indonesa lainnya), wabah, penyakit dan lain sebagainya yang terus-menerus silih berganri kadang bersamaan menimpa kita, tentunya tidak hanya menjadi perhatian dan koreksi belaka bagi pihak pemerintah Negara yang punya tangung jawab atas negeri ini ataupun masyarakat secara keseluruhan “sebagai pemerintah pribadi masing-masing yang punya tanggung jawab dimana ia berada/lingkungannya. Tetapi bagaimana tindakan nyata secara kolektif ataupun individu untuk tidak mengulang kembali aksi-akasi perburuan kenikmatan yang hanya bersifat sesaat.

Bagi pemerintah mulai dari pemerintah pusat sampai pemerintah yang terendah tentunya harus benar-benar memperhatikan beberapa hal pertama; berhati-hati dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan terutama kebijakan dan manajemen pembangunan daerah maupun nasional yang harus didasarkan kepada segala aspek. Terutama aspek lingkungan hidup yang lestari. Kedua; melakukan koreksi ulang terhadap semua kebijakan/peraturan yang menyangkut SDA dan kebijakan pembengunan yang telah dilaksanakan apakah benar-benar telah dilaksanakan sebagaimana mestinya atau hanya sebatas pemenuhan program asal terlaksana untuk memudahkan beretorika. Ketiga: pelaksanaan penegakakan hukum yang benar-benar bersih dan berwibawa.

Bagi masyarakat pada umumnya seyogyanya menjadi kewajiban bersama untuk selalu menjaga keseimbangan dan kelestarian alam dimana kita tinggal dengan melaksanakan fungsi fitroh kita sebagai “khalifatullah fi al ard”. Yakni mengelola menjaga dan memelihara keseimbangan dan kelestariannya. Karena Yang maha Pencipta sendiri dalam wahyu-Nya menganugarahkan semua yang ada untuk manusia. Namun perlu di ingat bukan karena ini anugerah lantas kita bebas semaunya dengan anugerah tersebut, anugerah alam semesta ini adalah amanah bagi kita yang telah ditunjuk sebagai pemimpinnya. Karena itu anugerah alam semesta ini akan memberi berkah apabila kita bisa mengelola, menjaga, memelihara dan melestarikannya. Sebaliknya akan membawa bencana apabila kita hanya mengambil enaknya belaka.

Intinya bencana, kerusakan lingkungan hidup, lambatnya pembangunan, dan sebagainya adalah bukan apa-apa penyebabnya melainkan kelalaian dan keserakahan kita yang terbuai oleh kenikmatan sesaat belaka. Kelihatan sederhana tapi sulit menyadari dan melaksanakannya bukan? œ

12 Februari 2007

@ ghoy_lare alit brebes



Tidak ada komentar: