Sabtu, 17 Januari 2009

Ulama Berpolitik?


Ulama Berpolitik?

Saatnya mengenal lebih jauh bagaimana tata cara dakwah dalam politik.

Politik sering diartikan sebagai sebuah tipu muslihat. Politik kotor. Politik penuh tipu daya dan berbagai macam istilah tidak sedap mengikuti kata politik ini. Politik oleh sebagian kalangan diartikan sebagai kemahiran untuk menghimpun kekuatan, meningkatkan kualitas dan kuantitasnya, mengawasi dan mengendalikan, dan menggunakannya untuk mencapai tujuan kekuasaan dalam negara dan lembaga-lembaga lainnya. Dari pengertian di atas telah nampak jelas bahwa orientasi politik adalah kekuasaan.

Adapun dakwah adalah seruan kepada segenap manusia untuk mengikuti jalan Allah lewat amar ma'ruf nahi munkar. Operasionalnya bisa menggunakan berbagai media, termasuk kekuasaan. Orientasi dakwah sangat nyata, yaitu sampainya pesan-pesan agama kepada semua manusia. Kekuasaan bisa saja menjadi alatnya, tapi sekali-kali, kekuasaan bukan merupakan tujuan dakwah.


Jadi mungkinkah dakwah dibidang politik?

Dakwah dalam politik mungkin masih asing terdengar, itu disebabkan manusia sudah jauh dari nilai-nilai Islami dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka lebih puas dengan aturan misalnya tatanan demokrasi. Sebagaimana kita ketahui pula, bahwasanya Nahdatul Ulama merupakan sebuah organisasi dakwah yang berorientasi pada terwujudnya cita-cita Islam yang berpegang pada ahlu sunnah wal jamaah. Dan kita patut menyadari bahwasanya pembangunan bangsa ini dan bahkan banua ini pun tidak terlepas dari peran serta ulama dalam kancah politik. Apabila kita melihat sejarah Nabi, maka kita akan melihat juga aktifitas dakwah nabi dalam perpolitikan, yang tentunya politik yang digunakan untuk kepentingan dakwah, bukan politik semata. Sebagai manusia yang menyatakan dirinya dai atau ulama harus dapat menempatkan diri sebagai dai yang menjadikan dakwah sebagai tujuan utama berpolitik, bukan sebaliknya.

Persoalannya hubungan antara dakwah dan politik tidak jarang menimbulkan persoalan dan ekses. Dalam konteks seperti ini peringatan Buya Ahmad Syafii Maarif relevan untuk dikutip, dakwah itu merangkul sedangkan politik memecah-belah. Dakwah itu memperbanyak kawan, sedangkan politik memperbanyak lawan.

Persinggungan dan bahkan pergesekan antara dakwah dan politik terjadi ketika secara institusional dakwah dan politik diimpitkan atau dicoba disatukan, misalnya partai politik yang merangkap sebagai lembaga dakwah. Modus politik semacam ini bukan saja melahirkan ambiguitas status pada institusi partai politik bersangkutan, tetapi juga menciptakan gesekan dan konflik dengan ormas Islam yang sejak awal memilih jalur dakwah, bukan politik praktis.

Di sini politik dan dakwah tampak merupakan dua dunia yang tidak sama, baik dalam prinsip nilai maupun metode dan tujuannya. Karena itu hubungan antara dakwah dan politik akan menghasilkan pola dan kesimpulan yang berbeda, tergantung pada penempatannya di mana dan memfungsikannya, apakah dakwah dalam politik atau politik dalam dakwah.

Dakwah diletakkan dalam politik, dakwah menjadi instrumen dan sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan politik partai bersangkutan. Dakwah merupakan subordinat dari kepentingan politik, karenanya rawan disalahgunakan. Posisi dakwah dalam partai politik (parpol) seperti ini selain telah kehilangan nilai dan makna hakikinya, juga visi dan misi dakwah menjadi tercemar. Dalam politik, mustahil sebuah partai tidak memiliki kepentingan politik untuk berkuasa. Karena itu, dakwah dari parpol bertujuan untuk kepentingan politik, seperti untuk merebut kekuasaan atau mempertahankannya.

Karena itu, yang dilakukan parpol sejatinya politisasi dakwah atau dakwah politik. Implikasinya, dimensi kerisalahan dakwah berubah menjadi kursi kekuasaan, dimensi kerahmatan berubah menjadi orientasi kedudukan. Hal ini terjadi karena dakwah oleh parpol tidak murni lagi sebagai dakwah. Akibatnya, sering muncul kesan negatif di masyarakat mengenai Islam yang diperalat untuk menyalurkan syahwat politik dan hasrat berkuasa pihak tertentu.

Berbeda dengan implikasi dari posisi dakwah dalam partai politik, politik dalam dakwah, misalnya dalam gerakan dakwah ormas Islam, merupakan salah satu jalan dan instrumen untuk kepentingan dakwah. Dalam gerakan dakwah ormas Islam, politik merupakan subordinatnya. Karena itu, dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah. Jadi bukan berdakwah untuk kepentingan politik (kekuasaan), tetapi berpolitik untuk kepentingan dakwah. Dalam konteks tersebut, politik bukan sekadar pertarungan mencari atau meraih kekuasaan atau mengutip C Calhoun (2002), the ways in which people gain, use, and lose power. Politik juga berkaitan dengan proses dan sistem yang berlangsung untuk menghasilkan kebijakan pemerintah dan keputusan legislatif yang berpihak pada kepentingan rakyat dan kedaulatanbangsa negara.

Fenomena dukungannya yang ditunjukkan ulama’ kepada pemerintah saat ini, patut disambut baik. Sebab kalau hubungan ulama’ dengan umaro’ (pemerintah) terjalin dengan baik, maka berbagai persoalan akan bisa diatasi. Alasannya, pemerintah membutuhkan dukungan ulama’ agar masyarakat sabar menghadapi krisis yang menghimpit saat ini. Ulama’ diyakini memiliki kharisma dan wibawa untuk mempengaruhi masyarakat. Kalau saat ini masyarakat dilanda krisis kepercayaan kepada pemerintah, maka ulama’lah yang diharapkan untuk memulihkan kepercayaan itu. Sehingga, dukungan yang diberikan ulama’ kepada pemerintah mempunyai arti yang sangat penting.

Ulama’ atau kyai, hingga kini memang memiliki peran penting di tengah masyarakat. Ulama’ memiliki wibawa, kharisma dan di hormati masyarakat, karena keluhuran akhlak mereka. Ulama’ dianggap sebagai benteng moralitas, karena kesederhanaan dan kejujuran yang mereka lakukan. Keberpihakan ulama’ kepada masyarakat bawah membuat ulama’ semakin dihormati.

Tidak dapat disangkal, bahwa munculnya dukungan ulama’ kepada pemerintah ada muatan politisnya. Dalam hal ini muatan politis yang dimaksud adalah dalam artian positif. Ketika masyarakat dilanda krisis ekonomi dan krisis kepercayaan kepada pemerintah, itu masalah serius.kalau masyarkat dibiarkan terus berada dalam krisis yang memprihatinkan itu, akan membuat peluang terjadinya gejolak dan kerusuhan. Untuk mengatasi persoalan inilah, pemerintah sangat membutuhkan dukungan ulama’, yang diyakini mampu memberi pesan-pesan dakwah kepada masyarakat.

Namun persoalannya akan menjadi lain, manakala ulama’ (kyai) ikut terseret pada kepentingan politik. Sebab godaan politik sering memabukkan orang, dan membuat kejujuran dan keobyektifan menjadi luntur. Kalau ulama’ sudah terseret pada godaan politik, maka peran ulama’ pun dengan sendirinya akan berubah menjadi alat legitimasi kepentingan politik pemerintah. Dalam arti sempit, keuntungan yang diari ulama’ bukan lagi untuk umat, tapi adalah untuk keprntingan pribadi. Sehingga tidak berlebihan kalau saat ini banyak yang menilai bahwa ulama’ sudah semakin jauh terseret pada kepentingan politik. Keterlibatan ulama’ dalam permaunan politik membuat kharisma dan wibawa itu mulai terkikis dalam pandangan masyarakat yang bukan kelompoknya. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, antara ulama’ pun bisa terjadi konflik karena perbedaan aspirasi politik.

Kalau ditinjau dari aspek dakwah, kondisi yang demikian tentu sangat merugikan, sebab ukhuwah islamiyah, bisa terusik karena kesibukan ulama’ dalam permainan politik. Idealnya, tugas utama ulama’ adalah bidang agama termasuk usaha menjaga terpeliharanya ukhuwah. Sedangkan urusan politik adalah tugas para politisi yang mahir memainkan berbagai siasat untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Seiring dengan kondisi politik di tanah air, ulama’ pun tampaknya mulai terjebak pada permainan politik. Dengan keterlibatan pada politik praktis tersebut, membuat mereka tidak bisa menghindar dari pro dan kontra pada penguasa. Tragisnya, ulama’ menjadikan dalil-dalil agama sebagai alat legitimasi politik. Kondisi yang demikian dengan sendirinya ikut mempengaruhi terusiknya ukhuwah islamiyah, ditengah masyarakat,. Untuk itu, solusi terbaik yang harus ditempuh saat ini adalah mengembalikan ulama’ pada esensinya, yaitu sebagai perekat tali ukhuwah islamiyah. Dengan demikian diharapkan keutuhan ukhuwah islamiyah bisa tetap terpelihara dengan baik.

Di tengah kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan dewasa ini, hubungan antara ulama’ dengan penguasa perlu dikaji ulang. Ulama memang diharapkan bisa menjalin hubungan baik dengan penguasa sepanjang penguasa itu berjalan pada garis yang benar. Sebaliknya kalau penguasa menyimpang dari kebenaran, maka ulama harus memiliki keberanian untuk meluruskannya. Artinya, ulama sebagai benteng moralitas haruslah mampu berperan sebagai cahaya penerang dalam kegelapan. Ulama juga dituntut untuk memiliki keberanin mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.

Demikian pula dengan pihak penguasa hendaknya bisa memahami posisi ulama dengan arif dan baik. Penguasa tidak perlu melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap orang yang berlainan dengan aspirasinya. Justru penguasa harus bisa menghargai pendapat dan kritik dari ulama. Peran ulama sebagai tokoh agama sesungguhnya sangat penting dalam usaha membangun keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Kejujuran dan keteladanan moral yang ditunjukkan ulama menjadi modal penting dalam pembangunan bangsa.

Posted by: Heny

Tidak ada komentar: