Sabtu, 07 Februari 2009

Akulah Debu Yang Beterbangan - - @gholib H.



AKULAH DEBU YANG BETERBANGAN

Dua puluh tujuh September dua ribu tujuh ku tulis kata sebagai mediasi debu yang ingin berkata. “Debu” yah…akulah debu, materi yang dapat menggantikan air wudlu dikala seorang hamba yang beragama Islam hendak bersuci tidak menemukan air untuk menghadap sang Maha Pencipta. Demi ketundukanku pada yang Maha Pencipta, kurelakan diriku disentuh, dijamah manusia untuk mengusap lengan dan wajahnya mensucikan dirinya.

Aku juga materi yang dapat mengganggu mahluk disekelilingku dikala angin menghembus membawaku terbang melayang tak pasti, tak jarang bola-bola mata yang melihat kesana kemari ku higgapi, aku kotori mahluk yang berlalu lalang kesana kemari, aku hampiri aku penuhi rumah-rumah mereka dengan tubuhku yang terombang ambing spoi sampai badai angin yang membawaku. Tak jarang bakteri dan virus-virus nakal mengambil kesempatan diatas kesempitanku, hingga tak jarang pula aku menjadi kambing hitam mahluk yang merasa teganggu akan keberadaanku.

Wahai mahluk sejagad bumi, melalui tulisan pengganti lisan ini aku sampaikan permohonan ma’afku… Aku hanyalah sebuah materi, benda mati dalam ketidakberdayaan untuk berusaha menjadi teman sejati yang mampu berikan manfaat bagimu.

Daku hanya turut berharap dan berdoa untuk semua, semoga mereka mahluk yang berakal, senantiasa sehat akalnya untuk menjalankan apa yang ingin nurani lakukan di muka bumi. Menerima keberadanku sebagai butir-butir kelembutan yang senantiasa ada dalam perjalanan setiap insan yang sedang berlalu lalang berkelana menuju ridlo-Nya. Andaipun kebaradaanku membuat terganggu kenyamanan, kebersihan, keindahan lingkungan, rumah benda-benda yang ada, bukan maksud daku berbuat demikian. Itu semua hanya Karena ketidakberdayaan semata atas siapa yang membawa daku. Karenanya semoga insan-insan yang telah dimuliakan oleh Tuhannya dengan dikarunia akal bisa menyadari dan memahami akan semua. Sehingga mampu menolong daku dari ketidakberdayaan ini. Wahai insan... aku juga punya cita mulia, cita-cita untuk meraih ridlo-Nya. Karenanya jadikanlah daku terjaga dari virus-virus dan bakteri yang memanfaatkan aku untuk ketidakstabilan kehidupan, jadikanlah daku suci dan teman setia untuk mensucikan diri dikala sahabat air tak lagi ditemukan.

Andai ku mampu bangkit dari ketidakberdayaan ini, sudah pasti tak kan ada lagi yang terganggu karena keberadaanku… andai engkau mau berbagi akal yang telah Tuhan karuniakan padamu, engkau tak usah repot-repot lagi berpikir mencari cara bagimana menjauhkan diriku darimu…

Rumah tua

@gholib H. / 00:32 / 27 Sep’07


Sabtu, 17 Januari 2009

Ulama Berpolitik?


Ulama Berpolitik?

Saatnya mengenal lebih jauh bagaimana tata cara dakwah dalam politik.

Politik sering diartikan sebagai sebuah tipu muslihat. Politik kotor. Politik penuh tipu daya dan berbagai macam istilah tidak sedap mengikuti kata politik ini. Politik oleh sebagian kalangan diartikan sebagai kemahiran untuk menghimpun kekuatan, meningkatkan kualitas dan kuantitasnya, mengawasi dan mengendalikan, dan menggunakannya untuk mencapai tujuan kekuasaan dalam negara dan lembaga-lembaga lainnya. Dari pengertian di atas telah nampak jelas bahwa orientasi politik adalah kekuasaan.

Adapun dakwah adalah seruan kepada segenap manusia untuk mengikuti jalan Allah lewat amar ma'ruf nahi munkar. Operasionalnya bisa menggunakan berbagai media, termasuk kekuasaan. Orientasi dakwah sangat nyata, yaitu sampainya pesan-pesan agama kepada semua manusia. Kekuasaan bisa saja menjadi alatnya, tapi sekali-kali, kekuasaan bukan merupakan tujuan dakwah.


Jadi mungkinkah dakwah dibidang politik?

Dakwah dalam politik mungkin masih asing terdengar, itu disebabkan manusia sudah jauh dari nilai-nilai Islami dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka lebih puas dengan aturan misalnya tatanan demokrasi. Sebagaimana kita ketahui pula, bahwasanya Nahdatul Ulama merupakan sebuah organisasi dakwah yang berorientasi pada terwujudnya cita-cita Islam yang berpegang pada ahlu sunnah wal jamaah. Dan kita patut menyadari bahwasanya pembangunan bangsa ini dan bahkan banua ini pun tidak terlepas dari peran serta ulama dalam kancah politik. Apabila kita melihat sejarah Nabi, maka kita akan melihat juga aktifitas dakwah nabi dalam perpolitikan, yang tentunya politik yang digunakan untuk kepentingan dakwah, bukan politik semata. Sebagai manusia yang menyatakan dirinya dai atau ulama harus dapat menempatkan diri sebagai dai yang menjadikan dakwah sebagai tujuan utama berpolitik, bukan sebaliknya.

Persoalannya hubungan antara dakwah dan politik tidak jarang menimbulkan persoalan dan ekses. Dalam konteks seperti ini peringatan Buya Ahmad Syafii Maarif relevan untuk dikutip, dakwah itu merangkul sedangkan politik memecah-belah. Dakwah itu memperbanyak kawan, sedangkan politik memperbanyak lawan.

Persinggungan dan bahkan pergesekan antara dakwah dan politik terjadi ketika secara institusional dakwah dan politik diimpitkan atau dicoba disatukan, misalnya partai politik yang merangkap sebagai lembaga dakwah. Modus politik semacam ini bukan saja melahirkan ambiguitas status pada institusi partai politik bersangkutan, tetapi juga menciptakan gesekan dan konflik dengan ormas Islam yang sejak awal memilih jalur dakwah, bukan politik praktis.

Di sini politik dan dakwah tampak merupakan dua dunia yang tidak sama, baik dalam prinsip nilai maupun metode dan tujuannya. Karena itu hubungan antara dakwah dan politik akan menghasilkan pola dan kesimpulan yang berbeda, tergantung pada penempatannya di mana dan memfungsikannya, apakah dakwah dalam politik atau politik dalam dakwah.

Dakwah diletakkan dalam politik, dakwah menjadi instrumen dan sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan politik partai bersangkutan. Dakwah merupakan subordinat dari kepentingan politik, karenanya rawan disalahgunakan. Posisi dakwah dalam partai politik (parpol) seperti ini selain telah kehilangan nilai dan makna hakikinya, juga visi dan misi dakwah menjadi tercemar. Dalam politik, mustahil sebuah partai tidak memiliki kepentingan politik untuk berkuasa. Karena itu, dakwah dari parpol bertujuan untuk kepentingan politik, seperti untuk merebut kekuasaan atau mempertahankannya.

Karena itu, yang dilakukan parpol sejatinya politisasi dakwah atau dakwah politik. Implikasinya, dimensi kerisalahan dakwah berubah menjadi kursi kekuasaan, dimensi kerahmatan berubah menjadi orientasi kedudukan. Hal ini terjadi karena dakwah oleh parpol tidak murni lagi sebagai dakwah. Akibatnya, sering muncul kesan negatif di masyarakat mengenai Islam yang diperalat untuk menyalurkan syahwat politik dan hasrat berkuasa pihak tertentu.

Berbeda dengan implikasi dari posisi dakwah dalam partai politik, politik dalam dakwah, misalnya dalam gerakan dakwah ormas Islam, merupakan salah satu jalan dan instrumen untuk kepentingan dakwah. Dalam gerakan dakwah ormas Islam, politik merupakan subordinatnya. Karena itu, dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah. Jadi bukan berdakwah untuk kepentingan politik (kekuasaan), tetapi berpolitik untuk kepentingan dakwah. Dalam konteks tersebut, politik bukan sekadar pertarungan mencari atau meraih kekuasaan atau mengutip C Calhoun (2002), the ways in which people gain, use, and lose power. Politik juga berkaitan dengan proses dan sistem yang berlangsung untuk menghasilkan kebijakan pemerintah dan keputusan legislatif yang berpihak pada kepentingan rakyat dan kedaulatanbangsa negara.

Fenomena dukungannya yang ditunjukkan ulama’ kepada pemerintah saat ini, patut disambut baik. Sebab kalau hubungan ulama’ dengan umaro’ (pemerintah) terjalin dengan baik, maka berbagai persoalan akan bisa diatasi. Alasannya, pemerintah membutuhkan dukungan ulama’ agar masyarakat sabar menghadapi krisis yang menghimpit saat ini. Ulama’ diyakini memiliki kharisma dan wibawa untuk mempengaruhi masyarakat. Kalau saat ini masyarakat dilanda krisis kepercayaan kepada pemerintah, maka ulama’lah yang diharapkan untuk memulihkan kepercayaan itu. Sehingga, dukungan yang diberikan ulama’ kepada pemerintah mempunyai arti yang sangat penting.

Ulama’ atau kyai, hingga kini memang memiliki peran penting di tengah masyarakat. Ulama’ memiliki wibawa, kharisma dan di hormati masyarakat, karena keluhuran akhlak mereka. Ulama’ dianggap sebagai benteng moralitas, karena kesederhanaan dan kejujuran yang mereka lakukan. Keberpihakan ulama’ kepada masyarakat bawah membuat ulama’ semakin dihormati.

Tidak dapat disangkal, bahwa munculnya dukungan ulama’ kepada pemerintah ada muatan politisnya. Dalam hal ini muatan politis yang dimaksud adalah dalam artian positif. Ketika masyarakat dilanda krisis ekonomi dan krisis kepercayaan kepada pemerintah, itu masalah serius.kalau masyarkat dibiarkan terus berada dalam krisis yang memprihatinkan itu, akan membuat peluang terjadinya gejolak dan kerusuhan. Untuk mengatasi persoalan inilah, pemerintah sangat membutuhkan dukungan ulama’, yang diyakini mampu memberi pesan-pesan dakwah kepada masyarakat.

Namun persoalannya akan menjadi lain, manakala ulama’ (kyai) ikut terseret pada kepentingan politik. Sebab godaan politik sering memabukkan orang, dan membuat kejujuran dan keobyektifan menjadi luntur. Kalau ulama’ sudah terseret pada godaan politik, maka peran ulama’ pun dengan sendirinya akan berubah menjadi alat legitimasi kepentingan politik pemerintah. Dalam arti sempit, keuntungan yang diari ulama’ bukan lagi untuk umat, tapi adalah untuk keprntingan pribadi. Sehingga tidak berlebihan kalau saat ini banyak yang menilai bahwa ulama’ sudah semakin jauh terseret pada kepentingan politik. Keterlibatan ulama’ dalam permaunan politik membuat kharisma dan wibawa itu mulai terkikis dalam pandangan masyarakat yang bukan kelompoknya. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, antara ulama’ pun bisa terjadi konflik karena perbedaan aspirasi politik.

Kalau ditinjau dari aspek dakwah, kondisi yang demikian tentu sangat merugikan, sebab ukhuwah islamiyah, bisa terusik karena kesibukan ulama’ dalam permainan politik. Idealnya, tugas utama ulama’ adalah bidang agama termasuk usaha menjaga terpeliharanya ukhuwah. Sedangkan urusan politik adalah tugas para politisi yang mahir memainkan berbagai siasat untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Seiring dengan kondisi politik di tanah air, ulama’ pun tampaknya mulai terjebak pada permainan politik. Dengan keterlibatan pada politik praktis tersebut, membuat mereka tidak bisa menghindar dari pro dan kontra pada penguasa. Tragisnya, ulama’ menjadikan dalil-dalil agama sebagai alat legitimasi politik. Kondisi yang demikian dengan sendirinya ikut mempengaruhi terusiknya ukhuwah islamiyah, ditengah masyarakat,. Untuk itu, solusi terbaik yang harus ditempuh saat ini adalah mengembalikan ulama’ pada esensinya, yaitu sebagai perekat tali ukhuwah islamiyah. Dengan demikian diharapkan keutuhan ukhuwah islamiyah bisa tetap terpelihara dengan baik.

Di tengah kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan dewasa ini, hubungan antara ulama’ dengan penguasa perlu dikaji ulang. Ulama memang diharapkan bisa menjalin hubungan baik dengan penguasa sepanjang penguasa itu berjalan pada garis yang benar. Sebaliknya kalau penguasa menyimpang dari kebenaran, maka ulama harus memiliki keberanian untuk meluruskannya. Artinya, ulama sebagai benteng moralitas haruslah mampu berperan sebagai cahaya penerang dalam kegelapan. Ulama juga dituntut untuk memiliki keberanin mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.

Demikian pula dengan pihak penguasa hendaknya bisa memahami posisi ulama dengan arif dan baik. Penguasa tidak perlu melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap orang yang berlainan dengan aspirasinya. Justru penguasa harus bisa menghargai pendapat dan kritik dari ulama. Peran ulama sebagai tokoh agama sesungguhnya sangat penting dalam usaha membangun keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Kejujuran dan keteladanan moral yang ditunjukkan ulama menjadi modal penting dalam pembangunan bangsa.

Posted by: Heny

Minggu, 04 Januari 2009

Alangkah...

Alangkah indahnya hidup ini

Andai dapat ku tatap wajahmu

Dan pasti kan mengalir air mataku

Karna pancaran ketenangan

Alangkah indahnya hidup ini

Andai dapat kukecup tanganmu

Moga mengalir

Keberkatan dalam diriku

Untuk mengikuti jejak dan langkahmu

Yaa rasulullah yaa habiballah

Kami rindu padamu

Allahumma Sholli ’ala Muhammad

Yaa Robbi Sholli ’alaihi wasallim

Alangkah indahnya hidup ini

Andai dapat kudekap dirimu

Tak ada kata yang dapat ku ucap

Hanya Tuhan saja yang tahu

Ku tahu cintamu kepada umat

Ummati... Ummati... Ummati...

Ku tahu kau ’kan safa’ati kami

Alangkah indahnya hidup ini

Andai dapat qtatap wajahmu

Dan pasti mengalir air mataku

Karena pancaran ketenangan

Yaa rasulullah yaa habiballah

Terimalah aku sebagai umatmu

Asal cuap"

asal cuap-cuap

Salah satu parameter yang menentukan maju mundurnya sebuah peradaban adalah sejauh mana ilmu pengetahuan dan teknologi beserta hasil-hasilnya berkembang. Sehingga Ilmu pengethuan dan teknologi beserta hasil-hasilnya menjadi penting dan tidak dapat dinafikan sebagai salah satu faktor penentu masa depan peradaban kita. Itu artinya maju-mundurnya peradaban yang akan kita capai tergantung pada keberhasilan kita dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta hasil-hasilnya sekarang.
Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat berkembang dan kita kuasai di era sekarang ini adalah tergantung kepada kualitas sumber daya manusia yang sudah barang tentu hanya bisa di dongkrak melalui pendidikan, baik formal maupun non formal (pendidikan dalam arti luas). Dengan pendidikan artinya kita berusaha untuk melatih, mempotensikan dan menggali kesadaran diri akan kedudukan/keberadaan kita sebagai manusia yaitu mahluk berakal (khayawanun nathiq) yang telah dikaruniai aqal.
Merujuk kepada Al-Qur’an Dalam firman-Nya Tuhan selalu menanyakan sebuah sikap manusia yang telah dikaruniai kelebihan akal yang biasanya pertanyaan-pertaanyaan ini dapat kita temui diakhir ayat yang menerangkan akan kebesarnan dan kekuasaan atas segala mahluknya. Seperti; ”apakah kalian tidak berfikir?” (Afala tatafakarun); ”apakah kalian tidak memperhatikan”(Afala tatadzakarun); ”apakah kalian tidak berakal”(afala ta’kilun) dst. hal ini mengisyaratkan bahwa dibalik segala apa yang dihadapkan pada kita menyimpan segudang rahasia yang harus digali. Dan untuk dapat menggali segala rahasia yang tersimpan dalam kehidupan ini hanyalah dapat dilakukan dengan memfungsikan anugerah akal yang kita terima. Mengapa Tuhan selalu mempertanyakan fungsi dari anugerah (aqal) yang hanya diberikan kepada manusia? Jawabnya adalah Karena disitulah kunci bagi manusia itu sendiri bagi mereka yang menyadari bahwa untuk mempertahankan atau meningkatkan kedudukan/derajat sebagai mahluk paling mulia diantara mahluk Tuhan lainnya tiada lain kuncinya terletak pada sejauh mana kemampuan manusia memfungsikan akalnya sebagaimana mestinya sesuai petunjuk Yang Maha Pencipta. Karenanya untuk berfungsinya akal Tuhan juga menurunkan wahyu melalui utusan-utusannya sebagai petunjuk agar akal dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Sebagaimana Al-Qur’an yang merupakan kumpulan wahyu-wahyu Tuhan yang telah disempurnakan yang mencakup kitab-kitab wahyu sebelumnya menegaskan dirinya sebagai ”petunjuk bagi manusia”(hudan lil al nas). Dari ayat terasebut sesungguhnya dapat kita ketahui mengapa kata yang dipakai adalah an-nas (manusia) bukan muslimin/ mukminin/ khusus untuk orang-orang islam. Ini mengisyaratkan bahwa Al-Quran bukan hanya untuk umat islam tapi sesuai keuniversalitasannya Al-Qur’an diperuntukan untuk semua umat manusia.
Dari sedikit uraian diatas juga dapat kita gali lebih dalam lagi bahwa kedudukan akal dan wahyu keduanya berbeda namun tidak dapat dipisahkan. Bagi mereka yang pandai mensyukuri akan anugerah akalnya akan dapat dengan mudah untuk menangkap pesan-pesan dan petunjuk yang terkandung didalam wahyu-wahyu Ilahi sehingga melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi beserta hasil-hasilnya sebagai buah pikir akal manusia yang berfungsi sesuai petunjuk dari Yang Maha Pencipta akal itu sendiri.
Apabila kita tarik ke wilayah pendidikan maka betapa pentingnya mensyukuri akal dengan memfungsikannya sebagaimana mestinya demi tercapainya tujuan pendidikan. Karena hanya dengan berfungsinya akal sebagaimana mestinya manusia dapat mengerti, memahami, mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupannya, dengan akal itu pula ilmu pengetahuan dihasilkan yang dengan sendirinya akan mendorong kepada kualitas hidup yang lebih baik dan peradaban yang lebih maju.
Karena pentingnya ilmu pengetahuan, maka Tuhan dalam Firman-Nya juga memberikan petunjuk bagaimana Ilmu pengetahuan dapat berkembang sebagaimana dalam QS.surat al-’alaq:1-5 yang secara global digambarkan melalui sistem pengajaran membaca (iqra’) dan pena (al-Qalam). Membaca artinya mencakup kemampuan berbicara (kalam), kemampuan mendengar (istima’), kemampuan menganalisa (melihat, memperhatikan, mengetahui, mengerti). Sedangkan pena (al-Qalam) artinya mencakup memperhatikan/melihat dan menulis demikian sempurnanya sistem metodologi pendidikan/pengajaran yang terkandung dalam ayat tersebut apabila kita mau menggalinya lebih dalam lagi dan merumuskan dan menuangkannya dalam bahasa yang bisa dipahami oleh manusia.
Dalam realitas kehidupan masyarakat negeri kita sekarang sebuah keprihatinan atas nasib pendidikan nasional masih saja mengusik pengamatan penulis karenanya muncul pertanyaan-pertanyaan yang kiranya pantas untuk diajukan yang menuntut jawaban kita bersama. Sudahkah masyarakat negeri ini mendapat hak pendidikannya sebagaimana dijamin dalam UUD 45 sehingga bisa membaca dan menulis?; Sejauh mana usaha-usaha pemerataan pendidikan sehingga seluruh masyarakat dapat mengenyam pendidikan? Sudah tepatkah sistem dan metodologi pendidikan yang diterapkan dalam pendidikan nasional? dan lain sebagainya. Sengaja penulis mengajukan beberapa pertanyaan tersebut karena kita tahu dan memaklumi bahwa maju mundurnya negeri ini dalam mencapai peradaban yang lebih baik sebagaiman tujuan negara kita yang termaktub dalam pembukaaan UUD 45. salah satu kuncinya adalah sejauh mana upaya-upaya peningkatan kualitas hidup yang tentunya bergantung pada fungsi akal. Dan untuk dapat melatih akal agar berfungsi lebih, salah satunya adalah dengan adanya sistem dan metodologi pendidikan yang tepat.
Karenanya penulis ingin mengajukan alternatif-alternatif untuk menunjang peningkatan pemerataan dan mutu pendidikan di negeri tercinta ini, dan bagaimana upaya-upaya agar pendidikan tidak bergantung penuh pada aspek pembiayaan dan pendidikan formal senbagaimana yang selama ini terjadi.
Pertama: Asumsi Pendidikan selama ini oleh kebanyakan masyarakat secara umum terjebak bentuk pendidikan formal/sekolah/lembaga-lembaga pendidikan pemerintah maupun sewasta. Betapa sangat tidak terasa formalitas pendidikan telah membawa jauh asumsi masyarakat kepada penyempitan makna dan pemahaman parsial terhadap pecidikan. Sehingga perlu adanya reinterpretasi dan pemahaman ulang kepada masyarakat akan makna pendidikan yang sebenarnya. Karenanya perlua adanya upaya-upaya baik oleh pemerintah maupun pihak yang berwenang untuk membangun asumsi masyarakat bahwa pendidikan itu bukan hanya ada di sekolah /lembaga-lembaga pendidikan pemerintah/swasta yang ada. Pemahaman masyarakat seharusnya tidak hanya di dominasi oleh pemahaman formalistik saja belaka, yang menyebabkan lahirnya tradisi dikalangan keluarga dimana para orang tua akan merasa cukup hanya dengan menitipkan dan membiayai anaknya disekolah/ lembaga-lembaga pendidikan yang ada tanpa ikut dan andil dalam pendidikan yang sebenarnya. Ketergantungan terhadap pendidikan formal sesungguhnya membawa dampak negatif terhadap tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri. Terutama dalam hal pencapaian kualitas hidup yang baik.
Sebagai akibat pendangkalan pemahaman pendidikan tersebut lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat ataupun lingkungan diluar sekolah sulit untuk difungsikan sebagai alternatif pendidikan bagi anak didik. Kesenjangan antara pendidikan dan orientasi pendidikan pun tidak dapat dielakkan lagi dimana tidak ada keterikatan, perpaduan, integrasi antara apa yang didapat dari sekolah dengan dilingkungan keluarga ataupun masyarakat. Sehingga jarang ditemukan kesesuaian teori yang didapat dari pendidikan yang ada dengan aplikasi/praktek dalam kehidupan si anak didik. Dari sini kita sebenarnya juga bisa menganalisa, mengapa bisa demikian? Dari sinilah kita sah menayakan bagaimana sesungguhnya yang terjadi dengan sistem dan metodologi pendidikan, tenaga pendidik, anak didik, kebijakan pendidikan kita?

A.Ghoib Hasbulloh
15:03/11 Feb.2007

Alamku.....???

Alamku…???

Mungkin hanya satu di antara seribu orang yang mau menanyakan nasib alam ini, bahkan kayaknya sulit untuk dapat menemukan orang yang mau peduli terhadap nasib alam yang hari demi hari bukannya tambah berseri namun sebaliknya pedih dan perih selalu mewarnai raut mukanya yang semakin nampak berkerut. Andai telinga kita mau mendengar jerit tangis dan rintihan alam yang kian menjadi, karena tiada henti selalu ditindas disakiti oleh manusia-manusia yang tidak ‘berprikealaman’, mungkin tak kuasa kita ikut menangis dan menitikkan air mata. Yah…mungkin kita tak mampu mendangar keluh kesah alam ini karena kita juga hobinya berkeluh kesah akan nasib kita sendiri, sedikit dari mereka yang mau peduli nasib mahluk yang lain. Dan karena kesemena-menaannya manusia juga mendapat predikat sebagai mahluk yang menyebabkan hancurnya alam ini.

Beruntunglah bagi manusia yang sadar sepenuhnya akan kedudukan dirinya dialam semesta ini yang sebenarnya diciptakan oleh Sang Maha Pencipta sebagai penguasa, “khalifatullah fi al ard” yang dipundaknya memikul amanah untuk mengelola memelihara dan menjaga keseimbangan dan kelestariannya. Karena hanya kepada manusia-manusia tersebutlah alam mau bersahabat dan akan menjadi rahmat yang penuh dengan aneka ragam nikmat.

œ

Dikala gunung, bukit, lembah, daratan kepanasan karena pepohonan yang melindungi diatasnya ditebangi tanpa ampun hingga hanya tersisa tanah gundul yang mandul,

Dikala satwa kebingungan kehilangan tempat berteduhnya,

Dikala belantara berhadapan dengan mesin-mesin pembantai yang memotong, mengiris dan menyayat-nyayat tubuhnya,

Dikala paru-paru dunia tercabik, udara menjadai hitam kecoklatan keracunan,

Dikala lautan yang kaya raya meloncat kaget karena dirampok, dijarah tanpa belas kasih,

Adakah penguasa dimuka bumi yang tidak lain adalah manusia yang peduli kepadanya?

Bukankah membiarkan mereka menderita berarti kita menjadi pemimpin/penguasa yang lalim terhadap yang kita pimpin “alam semesta”?

Bumi yang bergetar karena ketakutan akan ulah kita (orang bilang “bencana gempa”),

Gunung yang batuk kesakitan karena tercabik paru-paru dan hatinya ‘hutan belantara diatasnya’ (mbah Marijan bilang “gunung meletetus”),

Air yang berlarian kesana kemari menangis hingga air mata duniapun membanjiri kita hanya karena mencari pelindungnya pepohonan yang kita tebangi semena-mena. (orang Jakarte bilang “bencana banjir”),

Udara yang panik kehilangan penyegar dan penyejuk hatinya yang ternyata dicuri si ‘Bakteri dan Si Virus Suruhan Manusia. (Alhli Patologi bilang “Wabah”).

Semua itu tidakkah cukup untuk membuat sadar akal kita dari keterbuaiannya oleh nikmat sesaat yang membawa derita mahluk sejagad??? Akal yang telah terjangkit virus yang paling ganas diantara virus yang ada di dunia yakni virus ‘keserakahan dan angkara murka’. Setelah terjadinya berbagai bencana alam gempa, sunami, erupsi, longsor, banjir (dijakarta dan beberapa wilayah indonesa lainnya), wabah, penyakit dan lain sebagainya yang terus-menerus silih berganri kadang bersamaan menimpa kita, tentunya tidak hanya menjadi perhatian dan koreksi belaka bagi pihak pemerintah Negara yang punya tangung jawab atas negeri ini ataupun masyarakat secara keseluruhan “sebagai pemerintah pribadi masing-masing yang punya tanggung jawab dimana ia berada/lingkungannya. Tetapi bagaimana tindakan nyata secara kolektif ataupun individu untuk tidak mengulang kembali aksi-akasi perburuan kenikmatan yang hanya bersifat sesaat.

Bagi pemerintah mulai dari pemerintah pusat sampai pemerintah yang terendah tentunya harus benar-benar memperhatikan beberapa hal pertama; berhati-hati dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan terutama kebijakan dan manajemen pembangunan daerah maupun nasional yang harus didasarkan kepada segala aspek. Terutama aspek lingkungan hidup yang lestari. Kedua; melakukan koreksi ulang terhadap semua kebijakan/peraturan yang menyangkut SDA dan kebijakan pembengunan yang telah dilaksanakan apakah benar-benar telah dilaksanakan sebagaimana mestinya atau hanya sebatas pemenuhan program asal terlaksana untuk memudahkan beretorika. Ketiga: pelaksanaan penegakakan hukum yang benar-benar bersih dan berwibawa.

Bagi masyarakat pada umumnya seyogyanya menjadi kewajiban bersama untuk selalu menjaga keseimbangan dan kelestarian alam dimana kita tinggal dengan melaksanakan fungsi fitroh kita sebagai “khalifatullah fi al ard”. Yakni mengelola menjaga dan memelihara keseimbangan dan kelestariannya. Karena Yang maha Pencipta sendiri dalam wahyu-Nya menganugarahkan semua yang ada untuk manusia. Namun perlu di ingat bukan karena ini anugerah lantas kita bebas semaunya dengan anugerah tersebut, anugerah alam semesta ini adalah amanah bagi kita yang telah ditunjuk sebagai pemimpinnya. Karena itu anugerah alam semesta ini akan memberi berkah apabila kita bisa mengelola, menjaga, memelihara dan melestarikannya. Sebaliknya akan membawa bencana apabila kita hanya mengambil enaknya belaka.

Intinya bencana, kerusakan lingkungan hidup, lambatnya pembangunan, dan sebagainya adalah bukan apa-apa penyebabnya melainkan kelalaian dan keserakahan kita yang terbuai oleh kenikmatan sesaat belaka. Kelihatan sederhana tapi sulit menyadari dan melaksanakannya bukan? œ

12 Februari 2007

@ ghoy_lare alit brebes