Minggu, 04 Januari 2009

Asal cuap"

asal cuap-cuap

Salah satu parameter yang menentukan maju mundurnya sebuah peradaban adalah sejauh mana ilmu pengetahuan dan teknologi beserta hasil-hasilnya berkembang. Sehingga Ilmu pengethuan dan teknologi beserta hasil-hasilnya menjadi penting dan tidak dapat dinafikan sebagai salah satu faktor penentu masa depan peradaban kita. Itu artinya maju-mundurnya peradaban yang akan kita capai tergantung pada keberhasilan kita dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta hasil-hasilnya sekarang.
Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat berkembang dan kita kuasai di era sekarang ini adalah tergantung kepada kualitas sumber daya manusia yang sudah barang tentu hanya bisa di dongkrak melalui pendidikan, baik formal maupun non formal (pendidikan dalam arti luas). Dengan pendidikan artinya kita berusaha untuk melatih, mempotensikan dan menggali kesadaran diri akan kedudukan/keberadaan kita sebagai manusia yaitu mahluk berakal (khayawanun nathiq) yang telah dikaruniai aqal.
Merujuk kepada Al-Qur’an Dalam firman-Nya Tuhan selalu menanyakan sebuah sikap manusia yang telah dikaruniai kelebihan akal yang biasanya pertanyaan-pertaanyaan ini dapat kita temui diakhir ayat yang menerangkan akan kebesarnan dan kekuasaan atas segala mahluknya. Seperti; ”apakah kalian tidak berfikir?” (Afala tatafakarun); ”apakah kalian tidak memperhatikan”(Afala tatadzakarun); ”apakah kalian tidak berakal”(afala ta’kilun) dst. hal ini mengisyaratkan bahwa dibalik segala apa yang dihadapkan pada kita menyimpan segudang rahasia yang harus digali. Dan untuk dapat menggali segala rahasia yang tersimpan dalam kehidupan ini hanyalah dapat dilakukan dengan memfungsikan anugerah akal yang kita terima. Mengapa Tuhan selalu mempertanyakan fungsi dari anugerah (aqal) yang hanya diberikan kepada manusia? Jawabnya adalah Karena disitulah kunci bagi manusia itu sendiri bagi mereka yang menyadari bahwa untuk mempertahankan atau meningkatkan kedudukan/derajat sebagai mahluk paling mulia diantara mahluk Tuhan lainnya tiada lain kuncinya terletak pada sejauh mana kemampuan manusia memfungsikan akalnya sebagaimana mestinya sesuai petunjuk Yang Maha Pencipta. Karenanya untuk berfungsinya akal Tuhan juga menurunkan wahyu melalui utusan-utusannya sebagai petunjuk agar akal dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Sebagaimana Al-Qur’an yang merupakan kumpulan wahyu-wahyu Tuhan yang telah disempurnakan yang mencakup kitab-kitab wahyu sebelumnya menegaskan dirinya sebagai ”petunjuk bagi manusia”(hudan lil al nas). Dari ayat terasebut sesungguhnya dapat kita ketahui mengapa kata yang dipakai adalah an-nas (manusia) bukan muslimin/ mukminin/ khusus untuk orang-orang islam. Ini mengisyaratkan bahwa Al-Quran bukan hanya untuk umat islam tapi sesuai keuniversalitasannya Al-Qur’an diperuntukan untuk semua umat manusia.
Dari sedikit uraian diatas juga dapat kita gali lebih dalam lagi bahwa kedudukan akal dan wahyu keduanya berbeda namun tidak dapat dipisahkan. Bagi mereka yang pandai mensyukuri akan anugerah akalnya akan dapat dengan mudah untuk menangkap pesan-pesan dan petunjuk yang terkandung didalam wahyu-wahyu Ilahi sehingga melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi beserta hasil-hasilnya sebagai buah pikir akal manusia yang berfungsi sesuai petunjuk dari Yang Maha Pencipta akal itu sendiri.
Apabila kita tarik ke wilayah pendidikan maka betapa pentingnya mensyukuri akal dengan memfungsikannya sebagaimana mestinya demi tercapainya tujuan pendidikan. Karena hanya dengan berfungsinya akal sebagaimana mestinya manusia dapat mengerti, memahami, mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupannya, dengan akal itu pula ilmu pengetahuan dihasilkan yang dengan sendirinya akan mendorong kepada kualitas hidup yang lebih baik dan peradaban yang lebih maju.
Karena pentingnya ilmu pengetahuan, maka Tuhan dalam Firman-Nya juga memberikan petunjuk bagaimana Ilmu pengetahuan dapat berkembang sebagaimana dalam QS.surat al-’alaq:1-5 yang secara global digambarkan melalui sistem pengajaran membaca (iqra’) dan pena (al-Qalam). Membaca artinya mencakup kemampuan berbicara (kalam), kemampuan mendengar (istima’), kemampuan menganalisa (melihat, memperhatikan, mengetahui, mengerti). Sedangkan pena (al-Qalam) artinya mencakup memperhatikan/melihat dan menulis demikian sempurnanya sistem metodologi pendidikan/pengajaran yang terkandung dalam ayat tersebut apabila kita mau menggalinya lebih dalam lagi dan merumuskan dan menuangkannya dalam bahasa yang bisa dipahami oleh manusia.
Dalam realitas kehidupan masyarakat negeri kita sekarang sebuah keprihatinan atas nasib pendidikan nasional masih saja mengusik pengamatan penulis karenanya muncul pertanyaan-pertanyaan yang kiranya pantas untuk diajukan yang menuntut jawaban kita bersama. Sudahkah masyarakat negeri ini mendapat hak pendidikannya sebagaimana dijamin dalam UUD 45 sehingga bisa membaca dan menulis?; Sejauh mana usaha-usaha pemerataan pendidikan sehingga seluruh masyarakat dapat mengenyam pendidikan? Sudah tepatkah sistem dan metodologi pendidikan yang diterapkan dalam pendidikan nasional? dan lain sebagainya. Sengaja penulis mengajukan beberapa pertanyaan tersebut karena kita tahu dan memaklumi bahwa maju mundurnya negeri ini dalam mencapai peradaban yang lebih baik sebagaiman tujuan negara kita yang termaktub dalam pembukaaan UUD 45. salah satu kuncinya adalah sejauh mana upaya-upaya peningkatan kualitas hidup yang tentunya bergantung pada fungsi akal. Dan untuk dapat melatih akal agar berfungsi lebih, salah satunya adalah dengan adanya sistem dan metodologi pendidikan yang tepat.
Karenanya penulis ingin mengajukan alternatif-alternatif untuk menunjang peningkatan pemerataan dan mutu pendidikan di negeri tercinta ini, dan bagaimana upaya-upaya agar pendidikan tidak bergantung penuh pada aspek pembiayaan dan pendidikan formal senbagaimana yang selama ini terjadi.
Pertama: Asumsi Pendidikan selama ini oleh kebanyakan masyarakat secara umum terjebak bentuk pendidikan formal/sekolah/lembaga-lembaga pendidikan pemerintah maupun sewasta. Betapa sangat tidak terasa formalitas pendidikan telah membawa jauh asumsi masyarakat kepada penyempitan makna dan pemahaman parsial terhadap pecidikan. Sehingga perlu adanya reinterpretasi dan pemahaman ulang kepada masyarakat akan makna pendidikan yang sebenarnya. Karenanya perlua adanya upaya-upaya baik oleh pemerintah maupun pihak yang berwenang untuk membangun asumsi masyarakat bahwa pendidikan itu bukan hanya ada di sekolah /lembaga-lembaga pendidikan pemerintah/swasta yang ada. Pemahaman masyarakat seharusnya tidak hanya di dominasi oleh pemahaman formalistik saja belaka, yang menyebabkan lahirnya tradisi dikalangan keluarga dimana para orang tua akan merasa cukup hanya dengan menitipkan dan membiayai anaknya disekolah/ lembaga-lembaga pendidikan yang ada tanpa ikut dan andil dalam pendidikan yang sebenarnya. Ketergantungan terhadap pendidikan formal sesungguhnya membawa dampak negatif terhadap tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri. Terutama dalam hal pencapaian kualitas hidup yang baik.
Sebagai akibat pendangkalan pemahaman pendidikan tersebut lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat ataupun lingkungan diluar sekolah sulit untuk difungsikan sebagai alternatif pendidikan bagi anak didik. Kesenjangan antara pendidikan dan orientasi pendidikan pun tidak dapat dielakkan lagi dimana tidak ada keterikatan, perpaduan, integrasi antara apa yang didapat dari sekolah dengan dilingkungan keluarga ataupun masyarakat. Sehingga jarang ditemukan kesesuaian teori yang didapat dari pendidikan yang ada dengan aplikasi/praktek dalam kehidupan si anak didik. Dari sini kita sebenarnya juga bisa menganalisa, mengapa bisa demikian? Dari sinilah kita sah menayakan bagaimana sesungguhnya yang terjadi dengan sistem dan metodologi pendidikan, tenaga pendidik, anak didik, kebijakan pendidikan kita?

A.Ghoib Hasbulloh
15:03/11 Feb.2007

Tidak ada komentar: